Showing posts with label Bedah kasus. Show all posts
Showing posts with label Bedah kasus. Show all posts

Teliti Rekening Rumah Sakit Sebelum Pulang


Rekening rumah sakit anda terlalu tinggi? Anda kaget melihat nilai tagihannya?. Tak usah terkesima, cobalah baca rincian tagihan yang dilampirkan. Siapa tahu ada tagihan yang tidak wajar yang bisa mengurangi nilai tagihan anda.
Pada rincian tagihan rekening rumah sakit biasanya tertera sewa kamar, nama obat dan jumlah harga obat yang diberikan, tindakan medis yang dilakukan, hingga peralatan kecil yang digunakan untuk keperluan si sakit. Apakah anda memang menggunakan semua yang tertera di rincian tagihan? Banyak pasien pasrah saja membayar rekening yang ditagihkan tanpa meneliti rincian tersebut, entah karena percaya tidak mungkin rumah sakit berbuat salah, atau tidak mengerti apa-apa yang tertera di rincian tagihan. Benarkah sikap demikian? Apakah setiap tagihan rumah sakit benar adanya?
Tagihan Rumah Sakit bisa saja salah.
Rabu 26 Maret 2008, seseorang menulis surat pembaca di Harian Kompas. Ia menceritakan pengalamannya setelah dirawat di sebuah Rumah Sakit swasta. Tagihan yang diberikan oleh pihak rumah sakit, setelah ia menjalani operasi usus buntu, jauh diluar perkiraannya. Sebelum di operasi, berdasarkan estimasi dari rumah sakit, total biaya yang bakal dibayarnya hanya sekitar 6 juta rupiah. Namun rekening tagihan nilainya lebih 17 juta rupiah. Rasa penasaran membuatnya meneliti dan mempelajari rincian tagihan rumah sakit tersebut, walau tak semua istilah yang tertera ia mengerti. Karena merasa ada yang tidak beres, ia meminta pihak rumah sakit untuk menghitung kembali tagihan tersebut.
Rasa curiganya ternyata beralasan. Setelah pihak rumah sakit menghitung kembali, besarnya tagihan turun sekitar 6 juta rupiah. Menurut pihak rumah sakit ada koreksi untuk penggunaan suatu alat (LMA pro seal). Pembebanan untuk alat tersebut ternyata 40 kali lebih besar dari seharusnya.
Hal yang disampaikan oleh pembuat surat pembaca tersebut menyadarkan banyak orang bahwa sikap waspada dan kritis terhadap tagihan perlu dimiliki apabila kita dirawat di rumah sakit. Kesalahan tak sengaja, dan kadang-kadang dicurigai disengaja, bisa saja terjadi pada pasien yang dirawat rumah sakit dimanapun berada, walau tagihan tersebut berasal dari sistem komputerisasi yang canggih sekalipun. Bukan di Indonesia saja hal tersebut sering terjadi. Di Amerika Serikat yang sistem administrasi kesehatannya jauh lebih maju, sering terjadi tagihan rumah sakit lebih tinggi dari seharusnya ( over charge). Malah di sana sampai ada layanan jasa yang membantu pasien-pasien yang tidak dicakup sistem asuransi kesehatan untuk meneliti kebenaran tagihan tinggi rumah sakit, seperti Hospital Bill Auditing . Lembaga tersebut menganalisa apakah tidak terjadi overcharge dari tagihan yang diberikan, untuk selanjutnya meminta rumah sakit menarik kembali biaya tak wajar yang muncul. Jasa tersebut dibutuhkan karena tidak semua orang paham membaca istilah medis yang ada dalam rincian tagihan.
Berdasarkan kejadian yang pernah terjadi, over charge atau penagihan berlebihan dapat muncul dari kesalahan seperti contoh berikut:

-Pasien ditagih obat dan peralatan medis yang tidak pernah diterimanya. Hal ini bisa terjadi karena salah pembebanan.
-Tagihan untuk orang lain masuk ke rincian penagihan yang diterima
-Pasien ditagih biaya obat yang berlebihan. Misalnya pasien menggunakan 5 ampul obat suntik selama perawatan, pada rincian muncul 7 ampul.
-Seharusnya harga obat menggunakan harga satuan terkecil, yang muncul ditagihan harga kemasan terbesar (harga 1 tablet diisi harga 1 box @ 100 tablet)
-Pasien ditagihkan biaya pemeriksaan laboratorium yang berlebihan. Misalnya pemeriksaan HbsAg dilakukan 1 kali, tapi pada lembar tagihan muncul dua atau tiga kali.
-Pasien menerima obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakitnya.
-Pasien menerima tagihan pemeriksaan/ tindakan yang pernah direncanakan tetapi belum/ tidak jadi dilaksanakan.

Banyak rumah sakit telah melakukan langkah-langkah penertiban administrasi dan sistem untuk mencegah terjadinya kesalahan penagihan seperti di atas. Namun tak ada salahnya kita meneliti setiap tagihan sebelum membayar, mengingat petugas rumah sakit juga manusia, yang tak mungkin lepas dari kesalahan manusiawi.

( Azril Kimin )

Rekayasa Penelitian Medis: Dari Dokter Panutan ke Penjara

Oleh Azril Kimin


Dalam dunia penuh keterbukaan ini, jangan coba-coba menulis karya ilmiah serampangan – bisa-bisa penjara ganjarannya. Hidup dalam penjara agaknya akan dijalani Dr. Scott S. Reuben, mantan Kepala Unit Nyeri Akut Bay State Hospital di Springfield, Massachusets, yang kini tengah menjalani proses hukum di pengadilan federal AS. Menurut Boston Globes (15 Januari 2010), Dr. Scott S. Reuben diperkirakan akan menjalani hukuman 10 tahun penjara serta denda 250 ribu US dolar ditambah menyerahkan ke pengadilan 50 ribu US dolar yang pernah diterimanya dari pabrik farmasi. Di pengadilan, dokter Dr. Scott S. Reuben mengaku telah menerima dana dari pabrik-pabrik farmasi untuk penelitian obat-obat nyeri - tetapi tidak melakukan penelitian sebagaimana seharusnya. Hasil penelitian yang dilaporkannya ( juga dipublikasikan pada banyak jurnal kedokteran terkemuka dunia) ternyata merupakan hasil rekayasa.
Tulisan-tulisan Dr. Scott S. Reuben di banyak jurnal medis terkemuka dunia dianggap menyesatkan. Ilmuwan tersebut dianggap penipu karena telah memberikan banyak informasi yang membahayakan kesehatan lewat artikel ilmiahnya yang bertebaran di banyak jurnal kedokteran terkemuka. Dr. Reuben menuliskan artikel ilmiah yang memuji kehebatan obat yang ditelitinya dan mengecilkan efek sampingnya – padahal penelitian tersebut rekayasa belaka (hanya untuk menyenangkan pabrik sponsor). Karena dianggap sebagai dokter pakar/ panutan – ratusan dokter dibelahan bumi ini mengikuti rekomendasi metode pengobatan yang ditulisnya. Malangnya lagi, obat yang dipuji-puji tersebut telah menimbulkan celaka banyak orang karena beratnya efek samping. Vioxx and Bextra dari kelompok Cox-2 inhibitors adalah obat yang direkomendasikannya. Kedua obat tersebut kini dilarang beredar karena terdapat bukti meningkatnya serangan jantung, stroke hingga kematian pada pasien-pasien penggunanya. Majalah Scientific American menggelari dr. Scott Reuben sebagai Madoff dunia kesehatan karena selama 12 tahun berhasil mengelabui kalangan medis internasional. (Bernie Madoff adalah mantan direktur Nasdaq yang dikenal sebagai pakar ekonomi dunia, tapi belakangan terbukti sebagai penipu yang telah membangkrutkan ribuan perusahaan investasi dan individu dunia. Pada 22 Juni 2009 Madoff dijatuhi hukuman kumulatif 150 tahun penjara oleh pengadilan AS) Sebelum namanya tercemar, Dr. Scott Reuben, dikenal sebagai pakar multimodal analgesia, suatu metode pengobatan yang mengkombinasikan beberapa obat penghalang rasa nyeri pasien pasca operasi dan lebih mempercepat kesembuhannya. Dr. Scott Reuben dari Massachusets, pakar anestesiologi kelas dunia itu telah menyemarakkan seminar ilmiah dan jurnal-jurnal ilmiah kedokteran AS dan Eropah selama belasan tahun. Karena keahliannya disegani, rekomendasi yang ditulisnya di majalah kedokteran terkemuka dunia tentang kehebatan suatu obat baru, dipercaya para dokter lain sehingga lahirlah ribuan resep yang mengacu pola hasil penelitiannya – yang tentu saja menguntungkan pabrik yang memproduksi obat baru tersebut. Salah satu anjuran nya adalah “prosedur “ pemberian kombinasi Lyrica dan Celebrex pada pasien pasca operasi. Anjuran lainnya menganjurkan pemberian effexor untuk menghilangkan rasa sakit – padahal obat tersebut menurut FDA hanya diindikasikan sebagai antidepressant. Di samping itu, Dr. Ruben dikenal aktif melayangkan surat ke FDA, meminta FDA untuk tidak menghambat/ melarang obat-obat yang telah ditelitinya, sambil melampirkan data-data penelitiannya yang palsu tersebut.

Di bawah kami kutipkan 21 artikel ilmiah Dr. Scott Reuben yang dipermasalahkan kebenarannya.
klik gambar untuk memperbesar

Kenali gejala tipus

Kenali gejala tipus (thypus abdominal atau typhoid fever) yang tergolong berat dan berbahaya. Gejala awalnya perlu dikenali sebelum terlambat diobati. Selain itu, tipus kasus infeksi perut yang banyak di sini. Diawali demamlebih dari seminggu. Mulanya seperti orang mau flu. Bedanya, demam tipus umumnya muncul sore dan malam hari. Tidak disertai gejala batuk pilek. Demamnya sukar turun walau minum obat dan disertai nyeri kepala hebat. Perut terasa tidak enak, dan tidak bisa buang air beberapa hari.
Pada paratipus – jenis tipus yang lebih ringan – mungkin sesekali mengalami buang-buang air . Jika diamati, lidah tampak berselaput putih susu, bagian tepinya merah terang. Bibir kering, dan kondisi fisik tampak lemah, serta nyata tampak sakit. Jika sudah lanjut, mungkin muncul gejala kuning, sebab pada tipus organ hati bisa membengkak seperti gejala hepatitis. Pada tipus limpa juga membengkak.
Kuman tipus tertelan lewat makanan atau minuman tercemar. Bisa jadi sumbernya dari pembawa kuman tanpa ia sendiri sakit tipus. Kuman bersarang di usus halus, lalu menggerogoti dinding usus. Usus luka, dan sewaktu-waktu tukak tipus bisa jebol, dan usus jadi bolong.
Ini komplikasi tipus yang paling ditakuti. Komplikasi tipus umumnya muncul pada minggu kedua demam. Yaitu jika mendadak suhu turun dan disangka sakitnya sudah menyembuh, namun denyut nadi meninggi, perut mulas melilit, dan pasien tampak sakit berat. Kondisi begini membutuhkanpertolongan gawat darurat, sebab isi usus yang tumpah ke rongga perut harus secepatnya dibersihkan. Untuk tahu benar kena tipus harus periksa darah. Setelah minggu pertama demam tanda positif tipus baru muncul di darah (Uji Widal).
Jika tes Widal negatif padahal pasien menunjukkan gejala tipus, tes perlu diulang sambil menunggu tes Gaal atau biakan kuman. Tanpa tes Widal diagnosis tipus tidak bisa ditegakkan hanya dari pemeriksaan fisikdan melihat gejalanya semata. Penyakit tipus mudah disembuhkan. Jika tak mempan obat konvensional golongan chloramphenicol, kini sudah ada beberapa generasi obat baru.
Haruskah Rawat Inap? Jika kondisi pasien tidak berat, dan penyakitnyamasih awal, yaitu sudah didiagnosis sebelum demam lebih dari 3 minggu, umumnya masih bisa dirawat di rumah. Namun mesti diawasi jika mendadak suhuturun, nadi meninggi, dan perut mulas melilit. Makanan tak selalu harus lunak, asal jangan jenis yang merangsang. Waspadai jika buang air ada darahnya, tanda awal usus jebol, dan demamnya muncul lagi, dan kondisi pasien cepat menurun setelah sebelumnya tampak menyembuh. Tipus bisa kambuh. Tandanya, demam yang sama muncul lagi setelah mereda. Kemungkinan kuman tipusnya tersasar ke kandung empedu. Tipus begini biasanya lebih sukar disembuhkan. Sebagian dari kasus tipus menjadi pembawa kuman tipus.
Pembawa kuman ini berbahaya jika profesinya pramusaji atau orang yangkerjanya menyiapkan makanan dan minuman jajanan (food handler). Sekarang tipus bisa dicegah dengan imunitas tipus. Penyakit tipus di Indonesia masih banyak. Mereka yang punya risiko tertular, tidak salahnya ikut vaksinasi.

Diambil dari http://www.tempo. co.id
http://yusaksunarya nto.wordpress. com/2008/ 04/07/gejala- penyakit- typus/

Artikel Terkait:

Sekali Lagi Mengenai Test Widal Utk Tifus
Vignette

Seorang wanita, 13 thn, yang bertubuh besar dan biasanya sehat, datang dengan demam 6 hari. Demam tidak terlalu tinggi dan datang hilang selama5 hari dan terukur 39.5° C di kamar praktek. Pasien diantar ayahnya, membawa hasil laboratorium (inisiatif sendiri), termasuk nilai titer Widal (antara 0 dan 1/160) yang semuanya normal. Ia mengeluh sakit kepala dan mual sebagai keluhan utama, serta berak encer 1 kali. Wajahnya menunjukkan ia menderita ringan saja. Saya beri surat periksa labor untuk tes urine lengkap dan kultur darah, yang hasilnya baru akan diperoleh beberapa hari lagi. Dengan diagnosis klinis tifus saya beri siprofloksasin dengan pesan tidak boleh jalan dan istirahat tidur di rumah. Tanggal 14 Des demam naik 40.1°C dan karena ayah panik, pasien dirawat di RS, dimana ia diberi infus cefotaxime. Tgl 16 Des saya menerima SMS , menyatakan hasil kultur darah tifus positif.

Apakah Tes Widal harus dilakukan pada semua pasien demam?
Iwan Darmansjah

Sejak beberapa tahun terakhir pemeriksaan tes Widal menjadi rutin men-screen penderita demam untuk penyakit tifus. Kebiasaan ini hanya terjadi di Indonesia. Entah asal mulanya dari mana sulit dilacak, karena hampir semua dokter spesialis dan umum melakukannya secara salah kaprah kolektif. Hal ini begitu menyolok, sehingga pasien sendiri meminta labor melakukannya bila demam. Pengelola labor-pun secara tidak etis menawarkan test ini kepada setiap pasien yang lagi demam. Pada hal, semua dokter harus tahu bahwa nilai titer Widal tidak bisa dipakai untuk mendiagnosis tifus. Semua buku kedokteran juga tidak ada yang akan membenarkannya. Sehingga tujuan komersial oleh para pelaku tidak bisa disingkirkan.
Reaksi Widal merupakan test imunitas yang ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi / paratyphi, yaitu kuman yang terdapat di minuman dan makanan kita yang terkontaminasi dengan tinja orang yang sakit tifus. Jakarta dan Indonesia merupakan reservoir raksaksa kuman salmonella dan lainnya. Semua manusia di Indonesia pasti pernah kemasukan kuman salmonella melalui food-chain ini. Bila kebetulan jumlah kuman yang tertelan cukup besar mungkin akan timbul penyakit tifus yang terutama ditandai oleh demam berkepanjangan sebagai ciri khas. Namun tidak semua demam adalah tifus. Tifus perlu dicurigai bila demam berlanjut sedikitnya 6-7 hari. Juga demam tifus pada hari2 permulaan hanya ringan,tidak konstan, naik-turun, dan hanya setelah 5-7 hari akan tinggi menetap, disertai badan pegal dan sakit kepala, serta kadang2 mual dan diare ringan. Diagnosis tifus bisa dicurigai setelah demam sekitar seminggu ditambah gejala2 diatas. Secara statistik juga demam tanpa adanya gejala positif yang mengarah ke penyakit lain, kemungkinan tifus adalah yang paling besar di Jakarta. Hal ini juga ditopang oleh musim kemarau dan banjir yang membawa kuman salmonella.
Pemeriksaan labor untuk konfirmasi kecurigaan tadi ialah kultur darah, dilakukan sewaktu ada demam tinggi yang merupakan pertanda bahwa kuman sedang menyebar dalam darah (sehingga lebih mudah dikultur). Kultur tidak bisa dilakukan pada hari2 permulaan demam karena cenderung masih negatif. Kita harus menunggu hingga demam sudah tinggi dan konstan. Sayangnya hasil kultur untuk kepastian diagnosanya baru diperoleh setelah 4-6 hari. Namun pengobatan sudah bisa dilakukan atas dasar penilaian klinis, sambil menunggu hasil kultur.
Test Widal tidak bisa dipercayai karena terlalu banyak test yang false positif maupun false negative. Test Widal hanya akan berguna untuk follow-up, terutama jaman dulu waktu mana belum ada antibiotika dan tifus bisa berlangsung 1 bulan atau lebih. Ia berguna untuk melihat apakah titernya naik selama penyakit tersebut. Inipun tidak berguna lagi karena obat antibiotik yang ampuh sudah tersedia dan akan menyembuhkan tifus dalam 7-10 hari, sehingga tidak perlu follow-up. Tingginya titer juga sangat individual dan tergantung kemampuan tubuh kita membuat antibody. Misalnya, saya mempunyai seorang pasien laki, muda yang selama lebih dari 6 bulan (tanpa demam) diberi antibiotika berganti2 oleh dokternya hanya karena titer Widalnya sangat tinggi (sekitar 1/8000) dan tidak mau turun. Tentu hal ini mubazir.
Sekarang musim hujan lagi dan frekuensi tifus akan naik di Jakarta.
Bawalah tulisan ini dan berilah ke dokter anda bila anda disuruh periksa Widal.
Be a ‘smart patient’!

http://www.iwandarm ansjah.web. id/popular. php?id=232

Harry PrasetyaDitjen Kekayaan Negara Kanwil I Banda Aceh
Gedung Keuangan NegaraGedung CLt. 2Jl. Tgk. Chik DitiroBanda Aceh 23001

Berbagi Pengalaman Kisah Nyata: Imunisasi


[Judul asli: SHARING PENGALAMAN/KISAH NYATA]

Sungguh, Allah Maha Besar yang telah membukakan rahasia dari IMUNISASI selama ini.
AKHIRNYA TERUNGKAP! ternyata imunisasi sangat berbahaya! LINDUNGI putra-putri anda dari IMUNISASI sebelum hal-hal mengerikan terjadi...
MENGUAK RAHASIA yang terpendam lama..
INFORMASI PENTING INI, siap memberikan warna baru dalamhidup anda. Segala hal mengenai Niat-niat terselubung pembuat VAKSIN dan BAHAYA IMUNISASI ada disini...bagi teman2 yang membutuhkan data dan fakta nyata akan bahaya imunisasi ini-silahkan hubungi saya di
bangdinyani@yahoo.com
Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya
SEGERA akan saya kirimkan sekitar 80 halaman FAKTA NYATA tentang BAHAYA IMUNISASI !
Salam Hormat
Ibu Suryani

Subject: SHARING PENGALAMAN/KISAH NYA
Ini kisah nyata yang saya alami, sebagai informasi / pelajaran bagi Rekan-rekan jika suatu saat ada yang menghadapi cobaan seperti yang saya alami.
Pada pertengahan bulan Juni 2005, Istri saya melahirkan dengan baik (walau dengan operasi caesar), bayi kami sehat tidak kurang suatu apapun, beratnya 3.150 Kg dengan panjang 49 Cm. Sekali lagi Kami sangat bahagia atas peristiwa ini. Kembali Segala saran-saran dokter (Dokter Anak: Prof. "R" di RS "A") kami laksanakan dengan baik, minum vitamin-vitamin, susu ibu menyusui, menjaga kesehatan makanan/perlengkapan makan, makan makanan bergizi, menjaga pantangan-pantangan dalam merawat bayi. Dan rutin melakukan ImunisasDisinilah mulai timbul bencana pada keluarga kami, pada saat anak/bayi kami berusia +/- 7 bulan, untuk kesekian kalinya kami datang untuk imunisasi, pada saat itu kami datang ke dr Anak kami Prof. "R" di RS "A" , namun pada saat itu beliau tidak masuk, diganti oleh dokter pengganti/wanita yang masih muda/mungkin dokter baru (namun saya lupa namanya). Begitu melihat jadwal pada buku RS anak saya, dokter tersebut langsung siap melakukan imunisasi terhadap anak saya, "hari ini imunisasi HIB ya ?!", saya & istri tahu bahwa imunisasi HIB tersebut salah satunya untuk mencegah radang Otak, makanya Istri saya sempat bertanya, "dok, seandainya imunisasi ini tidak dilakukan bagaimana ya ?!", lalu dokter pengganti tersebut menjawab dengan nada agak ketus, "apakah ibu mau, anak ibu jadi Idiot?! (sambil memperagakan tampang muka orang yang idiot dengan lidah dijulurkan keluar)". Karena begitu sayangnya kami dengan anak kami, sudah barang tentu kami tidak mau anakkami idiot, lagi pula saya saat itu berfikir demi kesehatan anak kami tentulah kami menuruti apa kata dokter yang lebih tahu/berpengalaman dengan imunisasi tersebut. Lalu tanpa memeriksa dengan seksama kondisi anak kami dalam keadaan fit/tidak, dan perlu tidaknya imunisasi tersebut kembali diberikan kepada anak saya (karena sebelumnya pada saat berumur +/- 5 bulan anak kami telah pernah diberikan imunisasi HIB I) dokter pengganti tersebut langsung memberikan suntikan imunisasi HIB II kepada anak saya.
Dua hari setelah pemberian imunisasi HIB yang kedua tersebut anak kami mengalami panas, lalu turun, panas lagi lalu turun ( 2 atau 3 hari sekali pasti mengalami panas ) dan anehnya panasnya hanya dikepala dan di pundak/leher serta di ketiak saja, badan/tangan dan kakinya tidak. Hal ini berlangsung +/- selama dua minggu, jika sedang panas, panasnya pernah sampai 40,6 derajat C.
Sewaktu di kantor saya sempat bertanya kepada rekan-rekan yang masih/pernah punya anak kecil mengenai panas anak saya, banyak diantara mereka yang bilang panas setinggi itu berbahaya, malah sebagian teman bilang anaknya panas "cuma" 38 derajat C saja sudah Step/kejang-kejang, namun sampai hari itu anak saya belum pernah Step/kejang-kejang, padahal panasnya beberapa kali sampai 40 derajat C, dan biasanya akan turun dengan sendirinya, paling-paling hanya rewel, susah tidur. Saya mulai Panik dan khawatir, takut jika anak saya tiba-tiba kejang/step di rumah.
Dan Saya mulai ke dokter, kebetulan di dekat rumah ada dokter Umum di RS. "D" (Berhubung waktu itu hari minggu tidak ada dokter Spesialis anak yang Buka). Dokter tersebut memberikan beberapa macam obat, ada yang syrup, ada yang serbuk. Setelah memakan obat-obatan tersebut selama 3 hari, anak kami masih belum membaik (panasnya masih naik turun), lalu kami ke RS "A" tempat dokter anak saya Prof. "R" dimana selain diberi obat-obatn juga disarankan untuk memeriksakan darah anak saya ke Lab. (waktu itu saya langsung periksakan anak saya ke Lab. "P" yang sudah berpengalaman), Karena setelah kami ketahui hasilnya "negatif/tidak ada penyakit" dan obat dari Prof. "R" di RS "A" juga belum efektif menyembuhkan panas anak saya, akhirnya saya membawa anak saya ke RS "B" Cikini (karena saya tahu di RS "B" ada ruang perawatan anak, jika memang anak saya perlu di rawat).
Di sinilah ketabahan/kesabaran kami di uji. Saya datang pertama kali keRS "B" cikini, Kamis 17 Maret 2005 pagi +/- jam 7.00 Wib, dan setelah bertanya kesana-kemari saya langsung membawa anak saya ke UGD (Unit Gawat Darurat) karena masih pagi, dan disana ada dokter jaga, setelah dilakukan beberapa tindakan lalu +/- jam 08.30 saya bawa anak saya ke dokter Spesialis anak dr. "N", baru kemudian diminta untuk di bawa ke ruang perawatan untuk di rawat.
Pintarnya RS, setiap mereka akan melakukan tindakan medis terhadap anak kami, kami/orang tua harus menyetujui terlebih dahulu tindakan tersebut, dengan catatan apabila orang tua pasien tidak menyetujui suatu tindakan medis, kami juga disodorkan surat penolakan tindakan medis, yang didalamnya tertera apabila terjadi apa-apa terhadap anak saya, maka pihak RS tidak bertanggung jawab karena tindakan medis yang akan mereka lakukan tidak disetujui. Itu artinya kami/pasien bagai memakan buah simalakama, dan tentunya harus mengikuti semua langkah-langkah medis yang dilakukan oleh pihak RS, karena memang tidak ada pilihan lain.
Anak saya langsung di infus dan diambil darahnya untuk pengecekan (karena hasil cek darah yang saya bawa dari Lab "P" sebelumnya menurut pihak RS bisa berubah) walaupun akhirnya hasilnya juga masih "negatif" tidak diketahui penyebab/penyakit panas anak saya. Kemudian atas anjuran dokter anak saya harus puasa dari jam 15.00 (tiga sore) sampai dengan 21.00 (sembilan malam) kerena akan diambil darahnya lagi untuk pemeriksaan. Selama waktu tersebut kami sedih melihat anak saya, walaupun ada infus di kakinya, namun anak saya tampak ingin makan/minum, namun kami tidak berikan walau mulutnya seperti orang yang kehausan. Kami sangat mengkhawatirkan fisik anak saya.
Benar saja apa yang Saya dan Istri saya khawatirkan terjadi, esokan hari/Jum'at subuh begitu panas anak saya kembali tinggi sampai lebih dari 40 derajat C, anak saya langsung kejang/Step (padahal sewaktu di rumah belum pernah sekalipun anak saya kejang/Step seperti saat itu), suster-suster RS mulai memberikan anak saya Oksigen melalui selang ke hidung, dan karena panas/Kejangnya lebih dari 1/2 jam, maka anak saya pagi itu juga langsung di bawa ke ruang ICU/PICU (Pedriatic Intensive Care Unit). Anak saya di diagnosa awal "kemungkinan" terkena Radang Otak yang disebabkan oleh Virus/bakteri, sehingga mengganggu fungsi pengaturan suhu tubuh. Dan dokter bilang kemungkinan sembuhnya hampir tidak ada, kalaupun sembuh akan ada efek sisa, misalnya jadi Idiot, Lumpuh, dsb. (Pihak RS langsung Pesimistis untuk penyembuhan anak saya).
Di ICU anak saya di rawat oleh Tim Dokter, dengan ketua Timnya yaitu dr. "Y" (dokter spesialis anak senior RS "B"), dengan anggota beberapa dokter Spesialis THT, Syaraf, Urologi, Bedah, dsb. Ditambah dengan dr.Konsulen/semacam penasihat, yaitu Prof. "A" dari RS "C", selain dokter tim tersebut dibantu oleh beberapa orang suster yang dalam seharibekerjanya dibagi menjadi 3 shift, suster-suster inilah yang memonitor perkembangan kesehatan anak kami tiap saat. Suster juga sama seperti karyawan di kantor kita, ada yang teliti, ada yang rajin, ada yang baru/belum berpengalaman, ada yang text book, ada yang kurang berani bertindak, dsb.
gambar: efrizalwordpress.com
Sabtu subuh (hari ke dua perawatan) anak saya kembali panas tinggi dan kembali kejang, kali ini suster jaga pada saat itu terlihat kurang tanggap/cekatan dalam memberi tindakan terhadap anak saya, malahan pada saat kejang, karena tenaga medis tidak begitu "care", Istri saya sendiri yang harus mengganjal mulut anak saya dengan alat pengganjal agar lidahnya tidak tergigit, dan karena terlalu lama tidak ditangani dengan baik akibatnya anak saya semakin lemah, terlihat pada mesin yang memonitor Oksigen dan Jantung anak saya saturasinya (istilah mesin tsb) terus menurun. Pada saat tim Dokter datang kondisi anak saya sudah memburuk, bahkan pada layar monitor mesin saturasi sempat terlihat "Flat", artinya paru-paru/oksigen dan jantung anak saya telah berhenti bergerak. Saya dan Istri langsung Shock dan lemas tangis pun tak terbendung. Beberapa tenaga medis terus berusaha memompa secara manual nafas anak saya, lalu mereka segera memasang mesin Ventilator/alat bantu pernafasan (mesin yang sama dengan yang digunakan Almh. Sukma Ayu) dan menyalakannya. Seperti biasa pihak RS menyodorkan surat persetujuan tindakan pemasangan mesin tsb. Pada saat itu saya & istri sangat Shock, sehingga konsentrasi kami hanya kepada anak kami tersebut, oleh karena saya tidak begitu memperdulikan surat persetujuan melakukan tindakan yang disodorkan RS, akibatnya pihak RS langsung mencopot kembali selang-selang yang terpasang dan mematikan mesin/listrik Ventilator tsb. Kami kesal dan marah (walau hanya di dalam hati), lalu segera meraih surat persetujuan tindakan tsb dan menandatanganinya, barulah alat tersebut kembali dipasang/dinyalakan, dan selamatlah nyawa anak saya ketika itu (padahal menurut hemat saya hitungannya hanya detik untuk mengambil keputusan tersebut/terlambat sedikit mungkin akan berbeda ceritanya).
Kurang lebih dua minggu alat Ventilator itu terpasang, dan dua minggu itu pula kami mengalami pengalaman yang sangat pahit dalam kehidupan kami, kami menyaksikan betapa tersiksanya anak yang kami sayangi yang terus menerus dilakukan tindakan medis, diantaranya :
1. Diambil darahnya yang hampir setiap hari (dengan cara disedot dengan alat suntik), walaupun hasil Lab.-nya selalu negatif dengan jumlah pengambilan dalam sehari bisa 3X, dan dalam sekali ambil antara 5 - 10 CC darah, padahal kondisi anak saya ketika itu sangat lemah/terlihat kuning seperti kurang darah. Diambil sampel Urine, sampel cairan dari perut, Bahkan sampai diambil contoh cairan otaknya (melalui penyedotan pada ruas tulang belakang) walaupun hasilnya juga negatif.
2. Berganti-ganti tempat untuk memasukan jarum Infus, dari vena-vena di kepala, tangan, kaki, selangkangan, malah karena Tim medis sudah kesulitan memasukan jarum infus, tim medis melakukan tindakan Vena Sectio (operasi kecil/merobek kulit/daging terluar) untuk dicari pembuluh vena yang berada agak ke dalam agar jarum infus dapat memasukan cairan infus ke tubuh anak saya. Kedua pergelangan tangan dan kaki anak saya telah di-Vena Sectio.
3. Bius Total, dengan alasan takut mesin Ventilator tidak berfungsi dengan baik apabila anak saya dalam keadaan sadar.
4. Diberi obat-obatan/anti biotik berganti-ganti sesuai indikasi/kemungkinan (Baru kemungkinan/seperti coba-coba) penyakitnya yang kadarnya tergolong keras, yang sudah pasti banyak efek sampingnya.
5. Karena sudah tidak ada tempat untuk Infus dan pengambilan darah (semua titik venanya telah habis), beberapa kali tindakan infus/pengambilan darah tidak berhasil dilakukan, lalu dicoba lagi dan di coba lagi sehingga menimbulkan bekas luka lebam/biru/bekas-bekas jarum suntik yang sangat banyak.
6. Dilakukan foto Thorax (Rongent) beberapa kali, Padahal sekali saja dilakukan di yakini dapat membunuh banyak sel tubuh)
7. Timbul efek samping, Paru-paru anak saya meradang/infeksi sehingga di penuhi banyak cairan, dan kepala belakang dan samping kiri memar/luka/lecet/bengkak. Karena terlalu lama dalam posisi tidur/di bius (hal ini seharusnya tidak perlu terjadi kalau tim medis sering merubah posisi tidur anak saya/setelah kami Complain baru hal ini dilakukan).
8. Masalah Biaya. Sering kali pihak RS (dokter/suster), menanyakan masalah biaya, walaupun berkali-kali saya katakan ada surat jaminan pembayaran dari Kantor. (Coba bayangkan seandainya memang kami tidak punya biaya).
9. Diagnosa penyakit yang tidak didukung bukti yang pasti, tim Medis hanya selalu mengatakan "Kemungkinan". Dari +/- satu bulan di rawat, anak saya sudah beberapa kali dikatakan kemungkinan penyakitnya bersumber dari Radang Otak karena penyakit/Virus/bakteri: Herpes, berubah Toxoplasma, berubah Maningitis, berubah Ensevalitis, sampaikesimpulan terakhir/dari sampel darah terakhir anak saya masih belum mengetahui pasti penyebab penyakitnya (bukti lab. adanya virus/bakteri tersebut tidak pernah ada).
Pada masa itu juga kami sempat beberapa kali bersitegang dengan beberapa Tim Medis anak saya, namun kami selalu kalah (mengalah) karena posisi kami sangat lemah, Ketua tim dokternya "dr.Y" sempat berujar bahwa mereka dokter-dokter ahli, " kalau di RS "C" bapak boleh bilang "begitu", karena banyak dokter muda yang sedang belajar disana" (maksudnya menanggapi guman saya dengan istri saya, "kok anak kita seperti kelinci percobaan ya!? dan kata-kata tersebut didengar Suster, yang lalu melaporkannya ke ketua Timdokternya), bahkan dokter itu juga sempat berkata "kalau bapak tidak puas, silahkan angkat anak bapak sekarang !!". Padahal saat itu, hal tersebut tidak mungkin kami lakukan karena seluruh tubuh anak saya terpasang mesin (Ada mesin ventilator, ada mesin saturasi Oksigen/Jantung, ada infus, ada selang Sonde/makanan, dsb)
Pernah seorang anggota Tim dokter yang didatangkan dari RS "C", yaitu dr. "I" ahli syaraf, setelah memeriksa anak saya mengatakan, "Penyakitnya malah dari RS ini semua, ya !!", Setelah masa perawatan 2 minggu tersebut timbul berbagai komplikasi; mata anak saya buta/tidak bisa melihat (menurutnya mungkin bisa sembuh karena anak saya masih bayi), Infeksi paru, memar di kepala, badan kaku/keras, padahal pertama kali masuk RS anak saya "hanya" sakit Panas. Kemudian dr "I" juga bilang " tadi saya coba lepas alat Ventilatornya agak lama, anak bapak bagus kok, dia sudah bisa bernafas sendiri ". Saya bersyukur berarti ada kemajuan pikir saya ketika itu.
Awal minggu ke tiga beberapa orang tim medis (ada beberapa dokter dan beberapa suster), mencoba melepas alat bantu nafas/Ventilator (mungkin setelah diberi masukan oleh dr. "I" dari RS "C"), di coba 1 jam, 2 jam, 3 jam dan seterusnya .... rupanya anak saya sudah bisa kembali bernafas sendiri/normal. Namun karena Sumber penyakitnya belum diketahui maka Tim medis beberapa kali melakukan penggantian Obat/anti biotik, diantaranya Acyclovir, Delantin, Tegatrol, TieNam, Meronem (dua jenis yang tertulis dibelakang katanya merupakan anti Biotik yang paling Ampuh/Mahal/Impor dari Amerika).
Minggu ketiga dan selanjutnya Panas kepala anak saya relatif stabil (antara 36 - 38 derajat C), dan kondisinya relatif membaik "hanya" tinggal matanya yang Buta dan badannya yang kaku (sendi-sendinya tidak bisa ditekuk), namun pengambilan darah masih dilakukan secara berkala, dan hampir setiap hari dilakukan Terapi Fisioteraphy (Penyinaran dan pemijatan). Sehingga akhir minggu ke tiga semua Infus telah dicopot, oksigen dicopot, hanya tinggal selang Sonde (Selang makanan/di mulut) yang masih terpasang.
Saya dan Istri (serta keluarga besar kami), terus berdoa setiap hari untuk kesehatan anak kami satu-satunya, sampai pada pertengahan minggu ke empat, dr. "I" (Specialis syaraf dari RS "C") bilang anak kami boleh di bawa pulang, namun minimal harus sehari masuk ke ruang perawatan biasa dahulu (sesuai prosedur RS "B"). Dan menurut dokter "I" juga, anak kami hanya cukup rawat jalan ke RS "C", untuk berobat ke dr. "I" dan dr. "L" (specialis tumbuh kembang/penyembuhan tubuh anak saya yang masih kaku-kaku). Setelah sehari berada di ruang perawatan biasa, dan tidakada masalah kami membawa anak kami pulang dengan membawa dua macam obat (Anti kejang dan anti Virus), dan sebelum pulang, lagi-lagi anak kami diambil kembali darahnya oleh RS untuk pemeriksaan penyebab penyakit anak kami, setelah itu barulah kami diperbolehkan pulang.
Namun tidak sampai 2 hari anak kami di Rumah, kami/keluarga lupa akan luka dibelakang kepalanya (akibat perawatan yang lalai sebelumnya) yang masih belum sembuh total, lukanya terlihat memar/merah/agak bengkak/dan mungkin infeksi, yang mungkin juga membuat anak kami panas lagi/karena infeksinya, Panasnya kembali naik sampai 40 derajat C lebih, bahkan ketika akan kami beri obat (yang kami bawa dari RS), anak kami muntah hingga lemas, lalu tanpa banyak pikir lagi walaupun pada saat itu jam 02 pagi, kami kembali membawa anak kami ke RS "B" Cikini dan kembali kami mengalami kekesalan, anak kami diperlakukan layaknya seperti pasien yang baru masuk RS. Anak kami kembali masuk ICU, kembali harus Infus, puasa, diambil darahnya lagi (meskipun titik venanya sudah habis/tidak ada tempat lagi untuk infus/periksa darah, dan saya juga telah sampaikan mungkin panasnya akibat luka dibelakang kepalanya yang belum sembuh/infeksi), padahal saya sudah protes terhadap dr. jaga pada saat itu bahwa anak saya sebelumnya sudah dirawat hampir sebulan di RS tersebut, dan hasil lab. terakhirnya juga baru kemarin saya ambil dengan hasil "negatif", juga saya kemukakan mengenai luka dibelakang kepalanya yang harus diprioritaskan pengobatannya. Namun karena dr. terus mengemukakan argumennya, akhirnya kami mengalah dan menyerahkan sepenuhnya apapun yang akan dilakukan oleh dr. Dan kembali anak saya dipakaikan selang Oksigen ke hidungnya, lalu dengan alasan "saturasi" nafasnya terus menurun, Tim medis berencana untuk memasang kembali mesin Ventilator pada anak saya, dengan sebelumnya meminta persetujuan saya lagi untuk diambil darahnya sebelum pemasangan mesin tersebut (padahal ketika itu kondisinya terlihat pucat/kuning seperti telah kehabisan darah). Kembali dengan berat hati dan berharap Tim Medis melakukan tindakan yang "benar" untuk anak saya, saya kembali menyetujuinya. Namun belum sempat mesin itu dipasang, belum sempat hasil lab I dan ke II (pengambilan darah pada pada hari itu) ada hasilnya, akhirnya anak saya dipanggil oleh yang Maha Kuasa ...... anak saya mengalami Gagal Nafas dan dinyatakan Meninggal oleh pihak RS, walau saat itu saya pegang denyut Nadi di leher/bawah dagunya masih ada (walau lemah), sewaktu kami minta untuk terus memompa alat bantu nafas manualnya, Dokter/suster yang ada pada saat itu sudah lepas tangan dan tidak melakukan tindakan apapun juga. Akhirnya dengan Ikhlas, didepan mata kepala saya dan istri saya, anak kami melepaskan nyawanya tanpa kami bisa berbuat apapun juga (Selasa 12 April 2005 Jam 23.25 wib). Akhirnya Anak kami meninggal dengan sebab bukan karena penyakitnya (Panas), menurut kami "kemungkinan" karena gagal nafas/Infeksi paru atau malah "mungkin" karena terlalu lemah kehabisan darah.
Innalillahi Wa inna illaihi roji'un selamat jalan Permata hatiku, ........ doa kami 'kan selalu menyertaimu...Amin
Dan tidak lupa saya & keluarga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan yang telah memberikan suport baik moril, materil maupun spirituil kepada saya dan keluarga, semoga segala kebaikan rekan-rekan akan dibalas dengan pahala yang berlipat-lipat oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.

Salam, Istriyanto & Keluarga
Note :
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Ilmu Kedokteran dan tenaga medis, sesuai dengan pengalaman berharga dan mahal yang telah saya alami, maka kami mencoba mengambil kesimpulan (Setelah kami juga mendengar dari sesama Pasien RS, rekan/sahabat, tetangga, saudara yang sempat bezuk dan mengatakan pada saya, selama dalam perawatan sampai saat Meninggalnya anak saya) sbb:
1. Banyak kasus penyakit bayi/balita yang timbul setelah mereka disuntik imunisasi.
- Pasien lain di RS yang sama mengatakan pada saya, anak saudaranya sampai dengan usia 2 tahun belum pernah suntik Imunisasi Hepatitis namun, setelah ada dokter (spesialis anak) yang tahu, lalu disarankan di imunisasi Hepatitis, kemudian tidak lama setelah itu akhirnya anak saudaranya positif terkena Hepatitis akut, dan harus bolak-balik berobat ke dokter.
- Tetangga saya, sehabis Imunisasi campak, dua hari kemudian malah terkena campak.
- Tetangga kami yang lain, anak pertamanya rutin diimunisasi, namun phisiknya malah lemah sering sakit-sakitan, sedangkan anak keduanya sama sekali tidak pernah imunisasi namun malah sehat, hampir tidak pernah sakit (kalaupun sakit cepat sembuh/ringan)
- Teman sekolah saya anaknya tidak pernah Imunisasi malah sehat, umur 10 bulan sudah lincah berjalan, dan juga boleh dibilang tidak pernah sakit (kalaupun sakit hanya ringan saja).
- dan banyak lagi kasus-kasus serupa yang tidak mungkin saya tulis satu persatu.
2. Menurut saya, Jika bisa Hindari Imunisasi, kalaupun perlu/terpaksa pilihlah imunisasi yang pokok saja (bukan imunisasi lanjutan/yang aneh-aneh) alasannya :
- Kita "Mendzolimi", anak kita sendiri yang memang sedang masa pertumbuhan dan pertahanan tubuhnya masih lemah, malah kita suntikan penyakit (walaupun sudah dilemahkan) ke tubuhnya.
- Kita tidak pernah tahu kondisi anak kita sedang benar-benar sehat atau tidak, karena terutama anak yang masih di bawah 1 tahun biasanya belum bisa bicara mengenai kondisi badannya, sedangkan imunisasi harus dilakukan pada bayi/balita yang sehat (tidak sedang lemah fisiknya/sakit).
- Sesudah kita memasukan penyakit ke tubuh anak kita, biasanya kita juga harus mengeluarkan banyak biaya. (Jasa dokter/RS, harga imunisasi, dsb),
- Tidak ada jaminan (Dokter/RS/puskesmas) apabila setelah imunisasi anak kita bebas dari penyakit yang telah dimasukan ketubuhnya. Contoh nyata yang terjadi pada anak saya, padahal anak saya sudah 2 kali imunisasi HIB ketika berusia +/- 5 dan 7 bulan ), padahal sebelumnya dokter bilang imunisasi HIB untuk menghindari penyakit Radang Otak, namun nyatanya anak saya malah meninggal akibat penyakit Radang Otak.
- Menurut seorang rekan yang pernah membaca Literatur terbitan Prancis, justru Imunisasi sudah tidak populer di Amerika Serikat, dan terus berusaha dihilangkan dan tidak dipergunakan lagi, bahkan di Israel Imunisasi telah di STOP samasekali, padahal kita tahu negara-negara itu merupakan pelopor "industri", imunisasi.
- Menurut pengalaman saya jumlah kadar/isi setiap pipet/tabung imunisasi semua sama, jadi imunisasi tidak melihat berdasarkan berat tubuh/perbedaan Ras/warna kulit, padahal kalau Obat/Imunisasi itu Impor, tentulah kadarnya disesuaikan dengan berat/fisik orang Luar (Barat) yang jelas lebih basar dan kuat fisiknya dibanding orang Asia, namun kita malah sama-sama menggunakan dengan takaran yang sama. (akibatnya overdosis).
3. Jika tidak "urgent" sekali, hindari rawat inap di RS, karena banyak prosedur/step-step pengobatan yang akhirnya akan melemahkan tubuh pasiennya. (Contoh: keharusan berpuasa, pemasangan infus, pengambilan darah yang terus menerus, foto Rontgen, operasi, kemoteraphy, dsb). Jikalau perlu coba dulu dengan cara pengobatan alternatif/tradisional.
4. Jika perlu dengan tegas untuk menolak suatu tindakan medis yang akan dilakukan RS, jika kita yakini manfaatnya tidak benar-benar berpengaruh terhadap kesembuhan pasien.
5. Jika perlu lakukan 2nd opinion pada RS/dokter lain yang setara/lebih baik.
6. Banyak tanya, biarlah kita dibilang "bawel", tanyalah setiap tindakan medis yang akan dilakukan, mengapa akan di lakukan, akibat-akibatnya, ada tidak cara-cara lain/alternatif lain yang lebih baik/tidak terlalu menyakiti pasien.
7. Terus temani pasien (bisa bergantian dengan keluarga yang lain), karena setiap saat bisa ada tindakan medis yang memerlukan persetujuan, dan cermati semua pekerjaan perawatannya, jika ada yang habis/kurang jangan sungkan melaporkan ke tenaga medis yang ada segera.
8. Terus berdoa, karena segala sesuatunya telah ditetapkan oleh "Yang Maha Kuasa", manusia hanya bisa ikhtiar dan berusaha.
Diambil dari Forum Diskusi:
Brawijaya Forum: http://forum.brawijaya.ac.id/index.php?action=vthread&forum=6&topic=138

http://www.akhirzaman.info/menukonspirasi/depopulasi/vaksin/1261-berbagi-pengalaman-kisah-nyata-imunisasi

Hati-hati pada Dokter?

From: Billy N.
"mailto:billy@konsulsehat.web.id">billy@konsulsehat.web.id
Reply-to: "http://health.groups.yahoo.com/group/sehat/"
Date: Sat, Mar 7, 2009

halo rekan-rekan...Ini tulisan yang mungkin 'aneh', saya sebagai seorang dokter justru meminta rekan-rekan untuk berhati-hati pada dokter. Ini mengikuti tulisan Pak Irwan Julianto di Kompas 4 Maret 2009 lalu, yaitu mengenai 'caveat venditor' (produsen/penyedia jasa berhati-hatilah). Link-nya di situs
Kompas: http://www.kompas.com/read/xml/2009/03/04/16255199/kontroversi.puyer.dan.polifarmasiCeritanya begini, beberapa hari ini saya mengurusi abang saya yang sakit demam berdarah (DBD). Saya buatkan surat pengantar untuk dirawat inap di salah satu RS swasta yang terkenal cukup baik pelayanannya. Sejak masuk UGD saya temani sampai masuk ke kamar perawatan & tiap hari saya tunggui, jadi sangat saya tau perkembangan kondisinya.Abang saya paksa dirawat inap karena trombositnya 82 ribu, agak mengkuatirkan, padahal dia menolak karena merasa diri sudah sehat, nggak demam, nggak mual, hanya merasa badannya agak lemas. Mulai di UGD sudah 'mencurigakan' , karena saya nggak menyatakan bahwa saya dokter pada petugas di RS, jadi saya bisa dengar berbagai keterangan/penjelas an & pertanyaan dari dokter & perawat yang menurut saya 'menggelikan' . Pasien pun diperiksa ulang darahnya, ini masih bisa saya terima, hasil trombositnya tetap sama, 82 ribu.Ketika Abang akan di-EKG, dia sudah mulai 'ribut' karena Desember lalu baru tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat baik. Lalu saya tenangkan bahwa itu prosedur di RS. Yang buat saya heran adalah Abang harus disuntik obat Ranitidin (obat untuk penyakit lambung), padahal dia nggak sakit lambung, & nggak mengeluh perih sama sekali. Obat ini disuntikkan ketika saya ke mengantarkan sampel darah ke lab.Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk 3 hari padahal besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung & biasanya obatnya pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya nggak tepat untuk DBD. Jadi resep nggak saya beli. Dokter penyakit dalamnya setelah saya tanya ke teman yang praktik di RS tersebut dipilihkan yang dia rekomendasikan, katanya 'bagus & pintar', ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore selalu ada di RS.Malamnya via telepon dokter penyakit dalam beri instruksi periksa lab macam-macam, setelah saya lihat banyak yang 'nggak nyambung', jadi saya minta Abang untuk hanya setujui sebagian yang masih rasional.Besoknya, saya datang agak siang, dokter penyakit dalam sudah visite & nggak komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak. Saya diminta perawat untuk menebus resep ke apotek. Saya lihat resepnya, saya langsung bingung, di resep tertulis obat Ondansetron suntik, obat mual/muntah untuk orang yang sakit kanker & menjalani kemoterapi. Padahal Abang nggak mual apalagi muntah sama sekali. Tertulis juga Ranitidin suntik, yang nggak perlu karena Abang nggak sakit lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan lagi padahal Abang sudah ngomong kalau dia sudah punya banyak.Saya sampai cek di internet apa ada protokol baru penanganan DBD yang saya lewatkan atau kegunaan baru dari Ondansetron, ternyata nggak. Akhirnya saya hanya beli suplemen vitamin aja dari resep.Pas saya serahkan obatnya ke perawat, dia tanya 'obat suntiknya mana?', saya jawab bahwa pasien nggak setuju diberi obat-obat itu. Perawatnya malah seperti menantang, akhirnya dengan terpaksa saya beritau bahwa saya dokter & saya yang merujuk pasien ke RS, Abang menolak obat-obat itu setelah tanya pada saya. Malah saya dipanggil ke nurse station & diminta tandatangani surat refusal consent (penolakan pengobatan) oleh kepala perawat.Saya beritau saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung. Sementara dokter saat visite nggak jelaskan apapun mengenai obat-obat yang dia berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang 'bengong'.Saat saya tunggu Abang, pasien di sebelah ranjangnya ternyata sakit DBD juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang mahal & sudah 2 dipakai, padahal kondisi fisik & hasil lab nggak mendukung dia ada infeksi bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang lain. Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya ngomong 'sakit ya?', 'masih panas?', 'ya sudah lanjutkan saja dulu terapinya', visite nggak sampai 3 menit saya hitung.Besoknya dokter penyakit dalam yang tangani Abang visite kembali & nggak komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia resepkan. Dia hanya ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka boleh pulang. Saya jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun ternyata pengobatannya nggak rasional. Kasihan banyak pasien yang terpaksa diracun oleh obat-obat yang nggak diperlukan & dibuat 'miskin' untuk membeli obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli yang sudah 'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak menjelaskan pada pasien sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam hanya untuk menunggu dokter visite.Abang sampai ngomong bahwa apa semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya yang dokter supaya nggak dapat pengobatan sembarangan? Abang juga merasa bersyukur nggak jadi diberi berbagai macam obat yang nggak dia perlukan & jadi racun di tubuhnya. Sebulan lalu pun saya pernah menunggui saudara saya yang lain yang dirawat inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik di salah satu kota kecil Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa terjadi pula, sangat banyak obat yang nggak rasional diresepkan oleh dokter penyakit dalamnya.Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan masyarakat kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat ke LN. Semoga bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk rekan-rekan semua agar berhati-hati & kritis pada pengobatan dokter.
rgds
Billy
Kunjungi http://konsulsehat.web.id/

Kasus prita Mulyasari


(gambar media indonesia.com)

JAKARTA, KOMPAS.com

Prita Mulyasari, ibu dua anak, mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten, gara-gara curhatnya melalui surat elektronik yang menyebar di internet mengenai layanan RS Omni Internasional Alam Sutera.

Kisah Prita bermula saat ia dirawat di unit gawat darurat RS Omni Internasional pada 7 Agustus 2008. Selama perawatan, Prita tidak puas dengan layanan yang diberikan. Ketidakpuasan itu dituliskannya dalam sebuah surat elektronik dan menyebar secara berantai dari milis ke milis.
Surat elektronik itu membuat Omni berang. Pihak rumah sakit beranggapan Prita telah mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut beserta sejumlah dokter mereka. Seperti apakah surat Prita yang membawanya ke penjara?

Berikut ini adalah surat prita.

RS OMNI DAPATKAN PASIEN DARI HASIL LAB FIKTIF

Prita Mulyasari - suaraPembaca

Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandar International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah trombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr I (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.

dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.

dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.

Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.

Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.

Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.

Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera