Malaria
Malaria masih merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia khususnya di luar Jawa dan Bali, tetapi akhir-akhir ini di Jawa terutama Jawa Tengah terjadi peningkatan kasus malaria. Lebih dari separo penduduk Indonesia hidup atau bertempat tinggal di daerah dengan transmisi malaria sehingga berisiko tertular malaria. Berdasarkan laporan dari Sub Direktorat Malaria Departemen Ksehatan RI, terjadi peningkatan kasus malaria dari 0,51 (1999) menjadi 0,60 per 100.000 penduduk pada tahun 2001. Meskipun telah dilakukan usaha-usaha pemberantasan malaria seperti penemuan kasus secara intensif, penyemprotan eradikasi vektor, penggunaan kelambu, insidens malaria terus meningkat. Salah satu penyebab peningkakatn kasus tersebut adalah akibat kasus malaria falciparum yang resisten terhadap chloroquine di Luar Jawa dan juga di Pulau Jawa, terbatasnya jumlah tenaga mikroskopik malaria yang berpengalaman di daerah endemik, baik di rumah sakit atau di klinik kesehatan, turut berperan dalam peningkatan kasus malaria yang tak terdiagnosis (underdiagnosis atau misdiagnosis). Di kota-kota besar yang umumnya non-endemik malaria, keterbatasan tenaga mikroskopik ini lebih parah lagi. Keterlambatan diagnosis malaria falciparum pada seorang yang non-imun perjalanan kliniknya bisa dengan cepat menjadi malaria berat dan menyebabkan kematian.
Diagnosis klinik
Untuk malaria tanpa komplikasi (malaria falciparum ringan atau malaria vivax), penyakit demam lain yang prevalens di suatu daerah yang sama misalnya demam tifoid, demam dengue, infeksi pernafasan akut, leptospirosis ringan, infeksi hanta virus, influenza dan penyakit infeksi lain dapat merupakan diagnosis bandingnya. Malaria falciparum berat harus difikirkan sebagai diagnosis banding pada seorang dengan demam, ikterus, gagal ginjal akut, perdarahan gusi, acute respiratory distress syndrom (ARDS), gangguan kesadaran (delirium sampai koma), sindrom sepsis, leptospirosis berat, febrile convulsion pada anak-anak dan sebagainya. Adanya faktor-faktor risiko tertular malaria merupakan anamnesis yang penting dalam membantu diagnosis pada seorang pasien yang dicurigai menderita malaria berat.
Diagnosis laboratorium
Diagnosis konvensional dengan pemeriksaan mikroskopik sediaan malaria, darah tebal maupun tipis, untuk melihat parasit intraseluler dengan pengecatan Giemsa masih merupakan pilihan utama dan menjadi gold standard bagi tes diagnostik malaria lain. Dasar pemeriksaan ini adalah ditemukannya parasit Plasmodia dan karena itu merupakan cara untuk menegakkan diagnosis definitif malaria. Pemeriksaan sediaan malaria ini relatif murah, tetapi memerlukan tenaga mikrokopis yang terlatih khusus dan berpengalaman, serta waktu yang cukup lama untuk pengecatan maupun interpretasi hasilnya.
Sampai saat ini, pemeriksaan mikroskopik tetap merupakan tes diagnostik utama dalam program malaria termasuk di Indonesia. Jika dilakukan oleh tenaga terlatih serta memenuhi syarat-syarat tertentu seperti waktu pengambilan sampel yang tepat, volume darah yang diambil cukup dan kualitas preparat yang baik, pemeriksaan mikroskopik malaria ini mempunyai nilai sensitifitas tinggi. Jika dilakukan oleh tenaga yang berkemampuan tinggi, metoda ini dapat mendeteksi 5-10 parasit per uL darah tetapi pada umumnya 100 parasit per uL darah. Keuntungan lain metode ini adalah dapat mengetahui spesies, stadium maupun kepadatan parasit, tidak memerlukan peralatan canggih serta pemeliharaannya mudah.
Metode QBC merupakan pemeriksaan cepat malaria yang berdasarkan pada pengecatan DNA parasit dengan acridine orange dan dilihat dengan mikroskop fluorescence. Disebut QBC karena parasit malaria yang dideteksi berada dalam lapisan buffy coat yang terbentuk setelah sentrifugasi darah dalam tabung kapiler yang dilapisi oleh acridine orange. Kelemahan metode ini adalah tidak dapat membedakan spesies plasmodium, tidak dapat untuk menghitung densitas parasit serta memerlukan peralatan mahal seperti alat sentifuge dan mikroskop fluorescence. Evaluasi nilai diagnostik QBC malaria untuk P. falciparum menunjukkan sensitifitas 100%, spesifisitas 83,6%, positive/negative predictive walue masing-masing 93,4% dan 100% dibandingkan sediaan darah tebal.
Dalam dekade terakhir ini telah dikembangkan tes diagnostik cepat malaria (selanjutnya disebut TDC). Tes ini disebut cepat karena memerlukan waktu paling lama hanya 15 menit dibanding minimal 60 menit untuk pemeriksaan mikroskopik dihitung sejak pengambilan sampel. Studi evaluasi (performance test) TDC tersebut baik di lapangan atau di pusat-pusat pelayanan kesehatan telah dikerjakan di beberapa negara termasuk Indonesia. Gold standard dalam evaluasi tes diagnostik ini adalah pemeriksaan mikroskopik malaria atau dengan metoda polymerase chain reaction (PCR).
Cara kerja tes diagnostik cepat ini berdasarkan atas pendeteksian antigen-antigen yang terdapat dalam Plasmodium. Antigen-antigen yang menjadi target dari tes diagnostik cepat yang saat ini telah tersedia adalah sebagai berikut:
- Histidine-rich protein II (HRP-II), suatu protein yang larut dalam air yang disintesis oleh trofozoit dan gametosit muda dari P. falciparum. Tes ini diproduksi pertamakali dengan merk Parasight-F. Tes semacam ini juga dikenal dengan nama ICT Malaria Pf.
- Parasite lactate dehydrogenase (pLDH) yang diproduksi parasit malaria stadium aseksual maupun seksual. TDC yang tersedia saat ini dapat mendeteksi pLDH dari semua spesies Plasmodium. TDC dapat membedakan antara P. falciparum dari non-falciparum tetapi tidak dapat membedakan antara P. vivax, P. ovale dan P. malariae. TDC yang dibuat untuk mendeteksi antigen ini antara lain tes OptiMAL.
- Kombinasi antara antigen HRP-II dari P. falciparum dengan antigen pan-malarial yang terdapat pada semua 4 spesies. Tes dengan kemampuan deteksi kombinasi antigen ini dikenal dengan nama ICT Malaria Pf/Pv.
Semua tes diagnostik cepat malaria yang tersedia di pasaran saat ini dapat mendeteksi Plasmodium falciparum, penyebab utama malaria berat dan kematian akibat malaria. Hal ini karena TDC dapat mendeteksi antigen HRP-II atau ensim LDH parasit (pLDH) yang terdapat pada P. falciparum. Pada pasien dengan malaria falciparum berat, dapat terjadi sekuestrasi parasit sehingga parasit tidak selalu ditemukan di darah perifer, dan karena itu diagnosis infeksi P. falciparum dapat terlewatkan oleh pemeriksaan mikroskopik akibat tidak adanya parasit dalam sediaan darah tepi.
Evaluasi tes OptiMAL yang pertama dilakukan di Indonesia yaitu di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah pada saat terjadi outbreak malaria pada tahun 2002, menunjukkan nilai diagnostik yang hampir sama yaitu dengan sensitifitas, spesifisitas, nilai ramal positif dan negatif masing-masing 85,7%, 89,9%, 60% dan 89,3% untuk P. falciparum dan 92,7%, 96,1%, 95%.
Tatalaksana kasus malaria di Indonesia
Malaria ringan / tanpa komplikasi,
Tujuan utama pengobatan malaria ringan/tanpa komplikasi adalah untuk menghasilkan pengobatan radikal dengan obat antimalaria (OAM) standard sesuai kebijakan obat yang berlaku di suatu daerah. Diagnosis dini dan pengobatan segera (dikenal dengan EDAPT= early diagnosis and promt treatment) merupakan strategi penting dalam tatalaksana kasus malaria. Jika seorang dengan malaria falciparum mengalami recrudescence dalam evaluasi pengobatannya, maka terapi diganti dari lini I ke lini berikutnya dan selanjutnya (lihat tabel).
¤ ACT (Artemisinin Combination Therapy)
Artemisinin Combination Therapy (ACT) seperti kombinasi artemether atau artesunate (AS) dengan mefloquine telah digunakan sebagai terapi alternatif di daerah dengan multidrug resistance di beberapa negara di Asia Tenggara.
Tabel 2: Obat ACT yang sedang dikembangkan dan dievaluasi
Artesunate + amodiaquine
Artesunate + Sulfadoxin/pyrimethamine
Artesunate + choloroproquanil+dapsone
Artesunate + pyronaridine
Artesunate/dihydroartemisinin + piperaquine
Malaria berat / malaria dengan komplikasi
Malaria falciparum berat (severe falciparum malaria) adalah malaria yang paling bersifat fatal, dengan angka kematian berdasarkan laporan rumah sakit berkisar antara 10 sampai dengan 40%. Menurut WHO 1990, definisi malaria falciparum berat adalah infeksi P. falciparum bentuk aseksual dengan satu atau lebih gejala/tanda klinik sebagai berikut: malaria serebral, anemia berat (Hb <>3 mg%), edema paru (ARDS=acute respiratory distress syndrome), hipoglikemi (gula darah sewaktu <40> 2 x / 24 jam), asidosis (pH darah <> 5%, bilirubin total > 3 mg% atau hipertermia > 40 C. Prinsip EDAPT meliputi mencegah malaria falciparum ringan / tanpa komplikasi menjadi malaria berat, dan mencegah serta memperkecil angka kematian pada pasien malaria berat. Semakin dini pengobatan dimulai semakin baik prognosis pasien. Pengobatan OAM pada pasien dengan malaria berat harus secara parenteral. Sampai saat Quinine (kina) intravena / secara drip masih merupakan drug of choice untuk pasien malaria falciparum berat9,22. Pilihan lain yang sekarang direkomendasikan adalah OAM golongan artemisinin yairu Artemether yang diberikan sevara intra muskuler sehingga praktis untuk digunakan di Puskesmas dimana seringkali fasilitas untuk pemberian obat secara intravena tidak tersedia.
Drug-resistant falciparum malaria merupakan problema utama dan serius di Asia Tenggara dan strain-strain tersebut umumnya resisten terhadap klorokuin, golongan anti asam folat, kina dan meflokuin. P. falciparum telah dilaporkan resistensi terhadap hampir semua OAM. Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah diidentifikasi sejumlah gen pada P. falciparum yang dapat diasosiasikan dengan resistensi terhadap obat anti malaria. Gen pfmdr1 yang terletak pada kromosom 5 dan mengkode protein Pgh1 pada membran lisosom parasit dan gen pfcrt yang terletak pada kromosom 7, berasosiasi dengan resistensi terhadap chloroquine. Polimorfisme gen-gen pfmdr and pfcrt merupakan penanda molekuler (molecular marker) drug-resistant malaria. Gen-gen lain dhps dan dhfr mempunyai korelasi dengan resistensi in-vitro dan in-vivo terhadap sulfadoksin-pirimetamin (SP).
Resistensi terhadap OAM dapat dicegah atau paling tidak diperlambat. Karena itu, kasus malaria harus diobati secara adekuat dan tekanan selektif (selective pressures) -salah satu mekanisme terjadinya resistensi OAM- terhadap strain plasmodium harus diperkecil.
Ferdinand JL, Suriadi G. Malaria di Indonesia. Dalam : Harijanto PN, ed. Malaria : epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta, Penerbit Buku EGC ; 2000 : 17 – 22.
Harijanto PN. Gejala Klinik Malaria. Dalam Harijanto PN (ed) Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Cetakan 1, EGC, Jakarta, 2000:151-64
Gasem, Muhammad Hussein. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Malaria. 2004. Simposium AIDS, Tuberculosis, dan Malaria: Universitas Diponegoro
0 Response to "Malaria"
Post a Comment